“Jeng. Bangun Jeng !. Sudah siang nih! Katanya mau sekolah. Bangun Jeng”. Suara Jufri membuat aku tersentak dari tidur. Belum sempat terjaga dari tidur Jufri sudah menyiramkan sisa air minum ke mukaku.
“Jufriiiiii.....!” Teriakku sambil mengejar Jufri yang lebih dulu berlari sambil menutup pintu kamar kost dari luar. “ Busyeeeeeet....” . Teriakku.
Jufri memang nakal. Tapi dia adalah seorang teman yang baik. Walau sedikit suka ja’im dan kadang-kadang konyol. Orang tua Jufri termasuk orang yang ramah, baik hati dan tidak sombong. Tapi keras kepala dan mau menang sendiri. Barangkali Jufri juga mewarisi watak yang sama dengan Ayahnya. Walau bagaimanapun Jufri adalah sahabatku. Sahabat satu kelas sekaligus sahabat satu kost.
Dan hari ini aku benar-benar terlambat sampai di sekolah. Pas di depan pintu kelas samar-samar ku dengar suaru ibu Simanjuntak. Alamak! Mati aku. Aku lupa kalau hari ini pelajaran Sejarah. Ber-arti aku harus mempersiapkan diri. Pertama telingaku harus tebal dan keduanya harus terbuka lebar agar apapun yang beliau katakan bisa masuk telinga kanan dan secepatnya bisa langsung keluar dari telinga kiri.
Intinya jangan sampai masuk ke hati. Kedua harus mempersiapkan sapu tangan. Bukannya untuk menghapus air mata. Tapi untuk membersihkan wajahku dari cipratan air liurnya. Semua anak sekelas sudah mengerti dan tahu persis apa yang akan terjadi kalau ibu Simanjuntak sudah mengomel. Bah! Seperti air sungai yang turun tiba-tiba. Soal malu dan sakit hati aku masih bisa menerimanya. Tapi untuk urusan yang satu ini, aku dan teman-teman benar-benar KO!. Bau!....itulah satu kata untuk menjelaskan betapa dahsyatnya aroma yang keluar dari mulut sang Naga Wanita.*
*maafkan aku dan teman-teman : muridmu yang 100% ja’im dan nakal bu Simanjuntak.
“Bah! Kau lagi rupanya. Apa kau tak pernah mau belajar dari pengalaman kau !. Kau sudah berulang kali terlambat. Terlambat terusnya kerja kau !”. Itu kata-kata pertama yang ku dengar begitu aku masuk ruang kelas setelah mengetuk pintu. Sekolah sedikit hening. Walau pada deretan bangku bagian belakang samar-samar terdengar suara cekikikan. Dan aku tahu persis itu suara siapa.
“Maaf bu. Saya terlambat lagi”.
“Tahunya aku. Semua murid-murid tahu kalau kau tuh terlambat. Tak usahnya kau jelaskan”. Logat bataknya kental sekali. Suaranya menggema. Bentuk tubuhnya yang kurus kecil dan hitam sangat tidak sesuai dengan suaranya yang melengking.
“Apa laginya alasan kau terlambat hari ini ?. Ibu tak mau kau pakai alasan yang itu-itu saja. Ketinggalan bis lah, ke-sianganlah, ditinggal angkotlah. Muaknya ibu dengan alasan yang itu-itu terus.”
Kini nada suaranya semakin tinggi. Dan aku cuma diam tanpa kata-kata.
“Apa alasan kau ! “. Bentak bu Simanjuntak. Gdebuk! Tangan kanannya memukul meja dengar keras. Hening sejenak dan tak satu suarapun terdengar.
“Maaf, bu. Saya sudah tidak punya alasan lagi. Semua alasan sudah saya pakai dan sudah saya sampaikan setiap kali saya terlambat, lagian saya sudah cari kesana-kemari tetap saja saya tidak menemukan alasan yang tepat untuk saya berikan pada ibu”.
Aku hanya bisa menundukkan kepala. Bukannya takut atau malu, melainkan ini cara terbaik untuk menghindari cipratan air liurnya yang sewaktu-waktu bisa dia semburkan dan muncrat ke wajahku. Dengan cara begini paling yang basah cuma rambutku. Walau tetap saja bau.
“Sekarang berdiri kau di sudut kelas sana. Kau pegang telinga kau sampai berakhir jam pelajaran ibu. Mengerti kan kau Andi ?”.
“Mengerti bu!” Jawabku singkat.
“Sekarang kita ulangan”. Tiba-tiba ibu Simanjuntak memberikan instruksi yang mendadak. Semua siswa tersentak dan beberpa orang siswa protes.
“Kemaren kita kan sudah ulangan bu, masa sekarang ulangan lagi.” Alin sang sekretaris sekonyong-konyong berbicara.
“Iya bu. Masa tiada hari tanpa ulangan ?”. Jufri yang seksi Keamanan ikut menimpali omongan Alin.
“Alin!. Jufri! . Kalian berdua berdiri. Temani teman kalian berdiri disana. Cepaaaat!”. Teriak ibu Simanjuntak dengan keras. Dan aku Cuma bisa tersenyum lebar memandang mereka berdua.
“Tenang Jeng, kami temani kau berdiri disini.” Bisik Jufri perlahan di telingaku begitu sampai di sudut kelas, tempat aku berdiri melaksanakan hukuman.
“Jam istirahat nanti biar aku kerjain ibu Simanjuntak”. Alin dengan sorot mata sipitnya berbisik tanpa takut sedikitpun diperhatikan oleh Ibu Simanjuntak.
“ Ya, terimakasih tuan putri berbuluh landak”. Balasku se-enaknya sambil meniup telinga kanannya.
“Ich !, enak saja bilang berbulu landak”. Protes Alin sambil mencubit perutku.
“Kalian bertiga! Bisa diam tidak!...atau ibu suruh keluar saja kalian”. Tiba-tiba ibu Simanjuntak membentak dari tengah ruangan kelas. Saat itu soal ulangan tengah di bagi-bagikan.
“Andi bu !, yang memulai. Masa saya dibilang putri berbuluh landak ?” Sahut Alin sambil cemberut.
“Alin yang duluan bu. Masa perut lapar saya di cubit dengan jepitan kepiting. Kan sakit bu…” Jawabku se-enaknya membelah diri.
Tanpa dikomando seluruh siswa bersorak….
Huuuuuuuu…….
“Diam !. Bentak ibu Simanjuntak dengan lantang.
“Kalian semua, seperti di kebun binatang saja. Sudah! kerjakan semua soal yang ibu berikan. Dan kalian bertiga ! Ikut ibu ke ruangan BP”. Lanjut ibu Simanjuntak.
“Ya…….ibu…..” Serentak kami bertiga menggerutu sambil berjalan meninggalkan ruangan kelas di iringi dengan sorak gembira teman-teman.
“….teman, dulu ada canda diantara kita, canda dan tawa dalam bingkai sahabat…tawa dan canda dalam pigura kasih dan sayang….antara ku dan kalian..ku ingin kalian tetap mengenangku dalam setiap hari nan berlalu, dalam setiap detik nafasmu dan dalam setiap degup jantungmu…teman…dulu ada tawa dan canda kita dalam setiap hari nan kita lalui…andaikan saja diriku tak jauh dari kalian….mungkinkah tawa canda itu bisa kita
nikmati ? “
****
Seminggu kemudian.
“Lihat Alin gak Juf ?”
“Coba tanya ke kantor polisi saja Jeng. Mungkin pak polisi tahu”. Jawab Jufri se-enaknya. Ujeng adalah nama panggilan akrabku. Cuma teman-teman satu geng yang memanggilku dengan sebutan Jeng. Menurut teman-teman aku orang yang paling suka membuat orang lain jengkel dan menyebalkan. Tapi anehnya mereka tetap suka dan senang berteman denganku.
“Aku duarius nih Jufri....dah dua hari aku belum ketemu Alin”.
“Bilang saja kangen, Jeng!” Balas Paulin sambil duduk dikursi kantin. Paulin adalah teman dekat Alin. Mereka berdua sama-sama pintar. Sama-sama ja’im dan sama-sama manis. Paling tidak kalau dibandingkan dengan anak-anak cewek dari kelas lain. Mereka berdua bisa dibilang primadonanya SMA tempatku sekolah. Tapi itu kata hatiku saja. He he...
“Lontong pecelnya tiga bi. Saya tidak pake pedas”. Seru Jufri pada bi Suti sambil menggeserkan tempat duduk.
“Saya tidak pake kuah kacang ya bi”. Paulin menimpali.
“Saya tidak pake piring bi, juga tidak pake sendok. Nanti biar non Paulin yang menyuapi saya...Ha ha ha .....”.
Paulin berdiri.
“Apa....?, memangnya aku pembantumu apa ?” . Sergah Paulin sambil sedikit melotot. Matanya sipit, jadi agak sedikit aneh dan lucu kalau seorang Paulin sudah melotot.
“Biar aku yang traktir non . Tapi suapi aku satu sendok saja. Mau kan ?” Sahutku sambil mengusap-usap tempat duduk Paulin dengan kertas koran yang ku remas-remas.
“Makacih....Pangeran Kodok...”. Balas Paulin sambil tersenyum layaknya seorang selebritis.
“Aku nanti sore mau ke tempat kost-nya non Alin. Ada yang mau nemani aku gak ?”.Aku bertanya pada dua orang sahabatku yang juga merupakan sahabat non Alin.
“Aku gak bisa Jeng. Nanti sore aku mau memandikan kucing bapak-ku. Soalnya sudah tiga hari belum dimandikan. Jadi sori aja ya Jeng.” Jawab Jufri sambil tetap mengunyah lontong pecelnya tanpa bergeming sedikitpun.
“Paulin, bisa gak nemani aku ke kosannya Alin?” Tanyaku pada Paulin yang tengah menyeruput es teh manis kesukaannya. “Bentar ya Jeng. Aku mikir dulu”. Balasnya.
“Payah kalian. Giliran makan gratis cepat banget iya nya. Giliran minta tolong susah banget. Ya sudah!, nanti sore aku pergi sendiri”. Balasku singkat dengan sedikit cemberut.
“Boleh nambah gak Jeng?!”. Tiba-tiba Paulin berdiri sambil menyodorkan piring kosong bekas lontong pecel yang sudah habis berpindah tempat. Pindah keperutnya.
“Edan lo Paulin. Lontong pecelku saja belum berkurang, kamu sudah nambah. Nambah lontong pecelnya atau nambah bebanku ?” Aku balik bertanya dengan sinis.
“Dua-duanya kali Jeng. Biar lengkap penderitaan kau”. Jufri menambahkan. Tanpa rasa salah dan berdosa sedikitpun.
“Boleh ya Jeng. Ini yang terakhir”. Kembali Paulin merayuku sambil mengedipkan matanya yang besar. Bagaikan mata anjing pudel.
“Ya, deh!, tapi bener ya. Ini yang terakhir, awas kalo nambah lagi”.
“Kalo nambah lagi memangnya kenapa?” Paulin balik bertanya.
“Kalo nambah lagi uangku cepat habis, tahu !” Balasku singkat.
Mungkin sudah nasibku punya teman yang selalu merongrong diriku. Tapi anehnya aku menyukai mereka semua. Mereka adalah teman dalam suka dan dukaku. Walau kadang-kadang mereka sering merepotkan diriku.Capedeeeee
“.....dulu disudut kelas kita ada jiwa yang pernah hadir dalam hati kita masing-masing....jiwa yang senantiasa mewarnai hari-hari kita nan cerah...kadang menangis dan berteriak lantang...kadang mncemo’oh dan kadang mencibir dalam bahasa yang kita tak suka...
...kini, jiwa itu tlah dipanggil Sang Pemilik sukma dan raga...Tuhan, maafkan kami atas semua kebodohan dan ketidak-tahuan kami atas semua ilmu yang Kau sembunyikan dari mata fana kami...”
****
Kado Terakhirku
“Buka pintunya dong….aku mau masuk nih. Buruan….”. Dan tetap tak terdengar suara apapun dari balik pintu.
“Alin, buka dong….Kenapa sih pake dikunci segala?” Aku kembali berusaha merayu agar Alin mau membukakan pintu kamar kosnya. Diam sejenak, tak ada tanda-tanda bahwa pintu akan dibuka.
“Say.....buka dong, kalo aku gak boleh masuk ke dalam buka sedikit saja pintunya. Aku tahu kamu sedang sakit. Alin takut kalau aku kabur setelah aku melihat wajahmu jadi jelek ya?”.
Aku berusaha membuka pembicaraan kendatipun pintu kamarnya tetap tertutup. Tetap tak ada tanda-tanda ada kehidupan dari dalam kamar. Perasaanku jadi khawatir, waswas dan bercampur dengan sejumlah pertanyaan.
Aku tahu, Alin marah besar ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa aku menggandeng Rani dengan mesra. Sebenarnya Rani sengaja berbuat demikian agar Alin cemburu. Aku tak tahu kalau kejadian minggu lalu adalah benar-benar sebuah rekayasa Rani yang tidak rela melihat aku dan Alin menjalin hubungan. Dan aku hanya bisa duduk diam bersandar pada dinding pintu kamar kost Alin. Perlahan ku tempelkan telingaku ke daun pintu untuk sekedar mendengar kalau-kalau ada aktivitas dari dalam. Sepi dan senyap, tak ada tanda-tanda kalau Alin ada di dalam. Tapi rasa penasaranku terus memaksa agar aku jangan pergi dulu.
A ha....Ada ide. Tiba-tiba saja aku tersentak gembira ketika muncul sebuah ide. Perlahan ku lepaskan alas kaki dan berpura-pura melangkah meninggalkan kamar kost Alin. Suara langkahku sengaja dikeraskan agar Alin tahu bahwa aku telah pergi. Setelah agak sedikit jauh dari pintu kamarnya aku kembali lagi dengan bertelanjang kaki sehingga tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Benar saja. Baru beberapa menit berlalu terdengar ada suara dari dalam kamar.
Perlahan tapi pasti terdengar lagi suara kunci pintu berderik. Aku tetap diam sambil menahan nafas. Dan dengan perlahan-lahan daun pintu pun dibuka sedikit demi sedikit. Setelah itu muncul sebuah kepala dengan rambut panjang dari balik pintu. Wajahnya menatap kearah pintu gerbang. Membelakangiku. Aku tetap diam dan berusaha untuk bisa menyelinap masuk kekamarnya.
Alin melangkah keluar kamar menuju pintu gerbang. Ku lihat langkah kakinya sedikit lunglai. Dengan baju piyama merah jambu dia terus melangkah. Aku tahu, Alin hanya ingin memeriksa keadaan apakah diriku sudah benar-benar pulang atau tidak. Tapi satu hal yang dia tidak tahu bahwa kini aku sudah berada di dalam kamarnya. Sengaja posisi pintu kamar tidak aku tutup, ini kulakukan agar dia tidak merasa curiga.
Pintu tertutup.
“Sudah!. Ngapain pake ngumpet segala. Kamu pikir aku gak tahu ya”.
Aku tersentak. Terkejut dan binggung.Tapi aku tetap berdiri diam mematung dibalik tirai bambu dekat jendela.
“Mau keluar apa enggak sih ?....atau Alin panggilin ibu kos dan berteriak maling....?”.
“Meooong......ini kucing....lho....”. Balasku dari balik tirai bambu dengan perasaan bersalah, binggung dan culun.
“Kucing apaan !...Kucing buduq iya. Jelek ! Cowok jelek. Alin benci cowok jelek. Nakal dan ja’im”. Alin dengan nada sebel membanting-banting bantal guling ke tempat tidurnya.
Sorot matanya tajam menatapku yang sudah lama berdiri disamping tempat tidur. Aku cuma diam dalam seribu kata. Yang ku lihat ada tetes air bening jatuh dari dua bola mata sayunya menuruti pinggiran pipinya yang kuning langsat.
“Aku cuma mau minta maaf untuk semua hal menyakitkan yang pernah ku lakukan padamu, sejak awal kita berkenalan dan sampai hari ini. Bukan untuk apa-apa”.
Aku berusaha membuka pembicaraan. Namun Alin tetap memeluk bantal guling dan merangkulnya. Ditutupnya matanya yang berlinang air mata. Terdengar isak tangisnya.
Aku tak tega bila sudah melihat seorang gadis menangis dihadapanku. Seorang gadis yang menyayangi dan penuh perhatian pada diriku yang sok ganteng dan sok pintar ini. Rasanya aku tak pantas menjadi pendaming hidupnya.
“Aku boleh ngomong gak nih ?, Alin sudah tiga hari gak masuk sekolah lho. Teman-teman pada nanyain kamu. Mereka kira aku sudah berbuat sesuatu pada Alin. Mereka semua menyalahkan aku. Tadinya aku bisa cuek dengan pertanyaan mereka, tapi lama-lama aku jadi capek dan bosan sendri. Biar jelek begii aku juga manusia juga. Punya hati dan perasaan. Sama seperti Alin, sama seperti teman-teman kita yang lainnya. Kamu dengar aku ngomong nggak sih?”.
“Alin, lihat aku dong....untuk kali ini saja. Setelah hari ini kamu nggak akan lihat diriku lagi, dan aku gak....akan lihat...”
“Jangan ! . Jangan teruskan ucapanmu Jeng. Ku mohon jangan”. Alin tiba-tiba bangkit dan duduk di tempat tidur sambil tetap memeluk guling.
Ku hampiri dirinya. Aku bersimpuh diantara dua lututnya yang tertutup dan menggantung di tempat tidur. Wajahnya menunduk tertutup bantal.
“Maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakiti hati dan dirimu. Aku sadar bahwa aku terlalu banyak menyakitimu. Tapi ketahuilah bahwa itu bukan mau ku”. Aku berusaha menjelaskan. Atau paling tidak berusaha membelah diri.
Ku genggam dua tangan Alin yang dingin dan basah. Ku tatap raut wajahnya yang memerah. Reflek ku tempelkan ujung jari kananku ke bibirku dan dengan perlahan kutempelkan ke pipi kanannya, namun belum sempat ujung jariku menempel....tangan kanan Alin meraih jariku dan menempelkannya ke bibirnya...
Alin menunduk dan aku yakin.....sorot matanya yang sayu menyimpan sejumlah tanda tanya”.
“Boleh aku bertanya ?”.
“Tentang apa ? Silahkan. Tapi jangan pertanyaan yang sulit untukku jawab”.
“Bagaimana Alin tahu kalau aku sudah ada di dalam tadi ? Tanyaku dengan penasaran.
“Ha ha ha...kamu tuh aneh, tahu gak. Dari luar pengen ke dalam...udah di dalam malah nanya dari mana Alin tahu. Lucu banget”. Alin ber-alasan dengan gayanya yang khas.
Kini Alin sudah tak sedih lagi. Karena sorot matanya kini sedikit berbinar-binar. Syukurlah pikirku.
“Hey...aku tuh bertanya..dari mana Alin tahu ?” . Aku bangkit dan duduk disamping Alin sambil menggenggam kanan kanannya.
“Kamu tadikan berdiri dibalik tirai. Tapi kamu lupa kalo tirai bambunya sedikit menggantung...jadi aku bisa lihat jempol kakimu nonggol dari balik tirai....Ha ha ha....”
“Makanya kalo mau ngumpet tuh di bawah ketek gue” Tambah Alin sambil menempelkan tangan kirinya ke hidungku.
“Jorooooook......dan bau.....tahu!” Sergahku.
“Tapi kamu suka kan ?......He he he....” Balas Alin tak mau kalah.
“Oiya, aku bawakan Alin sesuatu. Cuma aku gak tahu apakah Alin menyukainya”.
“Sesuatu ?....Wah! apa ya ? , kayanya aku bisa menyukainya”.
“Bentar ya, aku ambilkan. Barangnya ada diluar koq, itupun kalau belum dimakan kucing” . Jawabku sambil beranjak keluar kamar untuk mengambil sebuah kotak warna biru muda yang ku sembunyikan tadi.
Kemudian.
“Aku datang....Ini untuk Alin...silahkan dibuka non manis”. Aku mempersilahkan Alin untuk membuka bungkusan.
“Dibawah saja ya. Tempat tidurku masih berantakan”.
“Terserah, asal tetap dibuka” Balasku singkat.
Tanpa ragu Alin membuka bungkusan yang kuberikan dengan cepat.
“Wooow.....Akuarium...Ich, ada ikannya juga. He he...lucu bangeeet....ada daun nya lagi....ada batu kerikil warna warninya juga. Tapi ini ikan apa ?” Tanya Alin dengan raut wajah culunnya.
“Ini ikan cupang non. Aku beli di pasar. Sengaja aku pilih warna biru ke-unguan....cantik kan non ?” Tanyaku.
“Cantikan mana sama Alin ?” Senyum genitnya menebar pesona. Ah, Alin.....bisa aja.
“He he....cantikan ikan cupangnya duong”. Jawabku singkat.
“Ya....udah ! Pulang sana gi !” Alin cemberut....sambil menyodorkan kembali akuarium kecilnya padaku.
”Ikan cupang dibela-belain....Pacaran aja sama ikan cupang”.Tambahnya lagi dengan bibirnya yang manyun.
“Gini non. Ikan cupangnya memang cantik...tapi....Alin jauh lebih cantik....makanya jangan cemberut terus....Ha ha ha.....” Balasku menjelaskan, sebenarnya bukan menjelaskan...hanya membelah diri. He he...
“O....gitu ya...”. Komentar Alin singkat. Sambil terus memandangi akuarium dan mengaduk-aduk ikannya .
“Hei ! mati ntar ikan cupangnya, jangan diaduk gitu non”. Sergaku. Alin Cuma diam.
“Ini sekalian aku bawakan makanan ikannya. Tapi jangan banyak-banyak ngasih makannya ya non”.
“Memangnya kenapa kalo banyak-banyak. Ikannya jadi cepat gede ya ?” Tanya Alin penasaran.
“Ha ha ha ...bukan jadi cepat gede non. Tapi makanan ikannya jadi cepat habis....Ha ha ha....” Jawabku sambil mencubit hidung lancipnya.
“Iya ya...jadi cepat habis...”
“Makasih ya, dah mau lihat dan jenguk aku. Beberapa hari ini aku kena typus.
Kata dokter aku disuruh banyak istirahat dan mengurangi aktivitas sekolah yang berat-berat. Kamu baik Jeng….” Alin menjelaskan mengapa dia tidak masuk sekolah beberapa hari ini.
“Iya. Terimakasih juga karena sudah mau menerima kedatanganku. Meskipun harus pake acara ngumpet segala. Pake acara nangis lagi. Tapi aku tetap sayang sama kamu. Peluk aku say….” Ku peluk tubuh mungil Alin dengan mesra.
Dan Alin membalas dekapanku dengan hangat. Meski ku tahu Alin belum mandi….masih ada bau ilernya…BTW, it’s oke lah.
“Jangan tinggalkan aku sendirian ya Jeng” Bisik Alin di telingaku.
“Dan jangan pernah mau ku tinggalkan ya say” Balasku dengan lembut di telinganya.
“…cinta…adalah secuil rasa dari sejuta rasa yang pernah ada dan tercipta dari jiwa yang bersih….
dan cinta itu tak bisa membedakan siang dan malam….
gelap dan terang…apa dan siapa….walau cinta itu buta bukanlah alasan tuk men-dewa-kannya….biarlah cinta itu berdiri sendiri, memiliki dunianya sendiri, dan biarlah kita hidup berdampingan dengan cinta….sepanjang cinta bisa memberikan makna dan arti dalam hidupku…”
****
Kelanjutan cerita ini
Terlambat Lagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar