RSS

Cinta Seujung Korekapi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Empat Sekawan Berburu Mertua

Ini sebuah kisah persahabatan yang telah lama terkubur dalam kenangan masa lalu.Masa dimana kami tak mengenal kata "cinta", tak tahu arti rindu dan dirindui. Yang ada dikepala kami masing-masing adalah "NO DAY WITHOUT HAPPY"....yang penting selalu ada cekikikan dan terbahak-bahak.Tak peduli teman sedang batuk dahak sekalipun...Hua Ha ha ha ha...100%..itulah kami.Kisah empat sahabat yang gokil, sama-sama nakal demi masa depan bangsa ini. Juga sama jaim...demi para pemudi bangsa ini, dan juga demi ibu pertiwi negeri ini. semua yang kami lakukan tak lain adalah demi ini dan demi itu. Entah benar atau tidak salah...He he he...kami tak pernah berpikir seperti itu.

Satu-satunya alasan mengapa cerita ini terbongkar dari simpanannya adalah demi sepotong berlian yang sedang kami perebutkan. Tapi kami berempat sampai detik-detik cerita ini di tulispun tak satupun dari kami yang mengetahui dimana keberadaan berlian tersebut. Mimpi kali?!. Akh! biar!...Batinku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku, Kau dan Dia

...Empat tahun berlalu.

Sebenarnya aku tidak terlalu suka menuliskan semua kejadian dalam buku diary. Aku akan menulis kalau hati nuraniku berkata .


“Teruslah menulis, cobalah dengan kata-kata yang mudah ditulis. Jangan malu dan sungkan. Nanti kalau sudah menjadi sebuah buku cerita atau novel, akan ada yang mau membacanya”. Bathinku selalu mengucapkan kata-kata nasehat yang sama setiap kali aku baru memulai membuka laptop mini milik istriku. Dan kalau sudah begini maka suka atau tidak suka aku akan menulis apa saja yang bisa dijadikan kalimat. Kadang rasa malas selalu menjadi pemenang.

Cuek dan suka memperhatikan orang lain adalah salah satu sifat bawaanku sejak masih kecil. Suka bercanda dan bercerita dengan ekspresif adalah bagian dari diriku yang selalu keluar tanpa aku sadari. Selebihnya adalah karakter yang mengikuti suasana dan lingkungan. Kadang-kadang aku bisa juga bersikap masa bodoh atau tidak mau peduli pada orang lain. Kadang-kadang aku bersikap manis atau teramat manis. Anehnya lagi aku juga bisa bersikap seperti kaca cermin. Apa yang aku dapatkan dari orang lain itulah yang aku berikan pada mereka.

Aku putra ke-7 dari sembilan bersaudara. Kakak perempuanku hanya dua orang. Mereka berdua sangat sayang pada diriku. Kini mereka sudah berkeluarga dan hidup dengan anak-anak dan suami mereka. Aku menyesal tidak bisa setiap waktu berdekatan dengan mereka.

Jauh dari orangtua dan keluarga mungkin telah banyak memberikan pelajaran pada diriku. Aku harus belajar banyak hal dalam mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu. Dulu aku Cuma bisa menyuruh dan memberikan sejumlah perintah pada seorang pembantu rumah tangga. Tapi sekarang tidak lagi. Mulai bangun pagi, mandi, menyiapkan sarapan pagi dan lain-lain aku kerjakan sendiri. Awalnya sedikit sulit dan malas untuk mengerjakannya. Tapi lambat laun semuanya menjadi mudah dan terasa ada makna yang baru ku temukan. Aku sedikit menjadi lebih dewasa dan bisa mengatur waktu sendiri.

Namun kadang-kadang aku merasa sedih dan ingin menangis kalau mengingat semua masa laluku yang terbuang sia-sia. Lebih-lebih bila sudah mau tidur. Menatap langit-langit kamar dan menerawang khayalan jauh tanpa batas.
Terbayang senyum manca dan tawa riang adik-adikku yang nakal. Ingat keponakan, anaknya bibi dan bocah kecil yang hitam dan manis anak tetangga yang suka ku jailin. Namun di sini, aku hanya sendiri dalam sepi dan diam.

Tapi aku tetap yakin, bahwa aku bisa melewati setiap hari yang akan ku lalui dengan semua kekurangan dan keterbatasannku sebagai manusia. Terima kasih Bunda, terimakasih Ayah. Kalian sudah memberikan banyak hal pada diriku.

“…berteman sepi bukanlah ku larut dalam duka…berteman sunyi bukanlah memaksaku tuk menangis…berteman senyap dan hampa…tidaklah memaksaku tuk bermuram durja…karena sepiku adalah diam dalam khayal dan harap….karena sunyiku adalah mimpi yang kan kujadikan nyata….karena senyap dan hampaku adalah tidur dalam karyaku…”

****

Mungkin bukan hanya dirimu yang mirip dengan wajahnya. Rambutnya, senyum dan warna kulitmu juga hampir sama. Mungkin juga karena aku sudah tak bisa lagi membedakan warna-warna kulit lagi. Kecuali beda kulit duren dengan kulit rambutan. Awalnya ku tak menyadari kehadiranmu dalam hari-hariku. Mungkin karena sikap cuek dan acuh diriku telah menutup tabir fanaku akan dirimu.

Mungkin juga aku adalah manusia paling tolol dan bodoh untuk urusan hati dan perasaan. Atau sebaliknya, aku manusia paling sensitif dan peka terhadap urusan hati dan perasaan…dan apapun kesimpulanya izinkan aku melanjutkan kisah ini.

Mungkin ini adalah kisah kasih yang tidak akan pernah laku tuk dijual kepada penerbit manapun. Baik penerbit lokal maupun penerbit international, mungkin jauh panggang dengan apinya. Akh, entahlah. Makanya tetap izinkan diriku tuk meneruskan kisah ini. Daripada anda berpusing kepala untuk menemukan dan memberikan alasan yang dibuat-buat oleh anda sendiri.(^_^)

“…. Seraut wajah datang dengan senyum tersungging dari bibi mungilnya…seraut wajah pergi dari kisah hidup yang tak ku awali….seraut wajah mengisi hatiku dalam kenangan yang tak bertepi dan kemudian hilang dibalik awan putih….
ku sedih dalam tungguku yang tak tahu akhirnya bila…”


****

Mengapa Tuhan menciptakan makhlukNya selalu ada yang sama. Atau paling tidak sedikit mirip dan nyaris sama ? Ada apa dibalik semua penciptaan ini ? Terkadang aku tak percaya kalau seorang gadis yang selalu ku goda dengan lambaian tangan dari kertas adalah orang lain. Bukan dirinya yang pernah mengisi dan menorehkan sekian kenangan dalam hidupku. Aku sadar, gadis yang berdiri dengan memakai kaos warna merah jambu itu bukanlah Alin. Alin yang dulu pernah ku kenal. Pernah mengisi relung hatiku. Ya, Alin.

Tapi gadis itu bukan Alin. Alin yang selalu menari dalam khayalan dan mimpiku. Bercanda dalam tawa disetiap ceriaku walau berakhir duka. Dan seraut wajah yang ada dihadapanku kini benar-benar telah merobek kisah laluku yang tertimbun nostalgia, terimpit kisah lama dan tertinggal dalam waktu. Dulu.

“Senyum dong…”. Itu kata-kata yang selalu ku ucapkan setiap kali dia ku temui. Senyumnya yang khas membuat aku kehilangan kata-kata untuk memulai perkenalan. Dan hari-hari yang berlalu adalah sejuta diam dalam seribu harap dan khayalku.

“....dia bawakan ku mimpi dan berikan ku senyum, dan berikanku kembali seribu kenangan yang tertinggal di balik harapan....dulu dia pernah ada dan berada dihatiku...dengan nafasnya ku bisa semangat tuk jalani hidupku walau luka bagai sembilu....dan kau ada didepanku...”

****

“Boleh minta nomer HP nya?” Tanpa canggung aku berusaha mendekati Niha begitu ada kesempatan dalam kesempatan. Bukan kesempatan dalam kesempitan lho.
“Nomernya doangkan? Hpnya enggak kan...he he” Jawab non Niha sambil tersenyum.

”La iyalah. Nomernya doang. Ini, masukin ke HP-ku saja.” Mintaku pada Niha. Dan mulailah Niha memencet beberapa angka.
Lamaku tatap wajahnya yang menunduk. Rambut panjang dengan poni sebatar alis matanya mengingatkanku pada Alin. Dulu aku pernah memotong poni Alin dengan gunting tumpul, sehingga poni Alin jadi acak-acakan dan tidak rata. Kalau aku mengingat hal tersebut ingin rasanya kembali ke masa lalu. Memeluk dan mendekapnya.

“Ini nomernya. Sekalian isikan pulsanya ya. He he”. Dengan senyum simpul Niha mengembalikan Hpku.
“Thanks ya”. Jawabku singkat. Dan aku masih memandangi Niha menghilang di balik gang kecil disamping tembok bangunan dua lantai.
“Ahirnya !”. Aku membatin.

“...kau datang saat dia pergi...kau hadir kala dia menghilang dari mimpiku....kau ingatkan aku dari lupaku yang tertinggal...dan kau lupakan ku kemudian...menghilang dari bayang-bayang mu...”

****

“Kenapa sih suka muterin lagu anak-anak. Memangnya waktu kamu kecil dulu kurang bahagia ya ?”. Tanya Niha dengan penasaran. Dia berusaha untuk tidak terlalu lama menatapku. Aku heran, kenapa Niha selalu berusaha menghindari tatapanku setiap berbicara denganku.
“Bukannya aku kurang bahagia non. Justru aku berusaha untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tahu gak, orang yang paling bahagia di dunia ?”. Tanyaku dengan nada bercanda.

“Enggak ! Mungkin orang yang bahagia banget kale. Ha ha ha...” Jawab Niha dengan bibir mungil yang dimanyunkan. Kalau sudah tersenyum seperti ini maka dagu lancipnya terlihat seperti bintang kartun Samurai X ....Inuyasa.
“Orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain. Bisa membagikan senyuman pada diriku sehingga aku tetap bisa senang dan happy....he he....atau bisa juga membagikan kebahagiaan lewat sms atau....”
“Atau pulsa gratis buatku !....Ha ha ha...” Sambung Niha dengan ceria, tanpa rasa canggung.

“Hmmmm.....bisa juga ! Selagi sms nya buat-ku....he he....” Jawabku singkat.
“Oiya, sekalian saja aku mintanya fotonya ya. Niha pake HP ku saja. Tapi kalau ada telpon masuk atau sms jangan dibuka ya”. Pintaku pada Niha sambil memberikan HP ku padanya.
“Bener nih ?...Aku kan jelek...nanti bisa ngerusak HP nya lagi. Jangan salahin Niha ya”.
“Ya enggak lah. Masa wajah jelek bisa ngerusak HP, memengnya virus....Enggak kan”. Jawabku seenaknya.
“Ya udah. Tapi Niha mau pulang dulu. Laper euy”.
“Oke, tapi nanti jangan lupa balikin HP ku ya. Fotonya yang bagus lho, janji “. Balasku singkat. Dan aku berharap kelak aku bisa memandangi wajahnya di layar HP. Dan bila aku rindu pada Alin maka wajah Niha sedikit bisa mengobati semua kerinduanku padanya.
Kemudian

“Fotoku jangan di plototin terus, nanti warnanya berubah. Jelek kan wajahku, ada jerawatnya”. Muncul sebuah pesan singkat di HP ku. Lucu juga ketika ku baca sms dari Niha. Walau bagaimanapun aku senang menerima sms darinya.
“Jelek sih enggak. Tapi kalo jelek banget...iya juga sih!”. Balasku lewat sms juga.
“Ya.....
Keesokan hari.
“Katanya lusa Niha ulang tahun ya. Ulang tahun yang ke berapa non, kalau aku boleh tahu”. Tanyaku pada suatu hari ketika keluar kampus bersama. Agak aneh rasanya ketika berjalan bersama Niha. Aku teringat sewaktu jalan kaki bertiga dengan Alin dan Paulin...........”Tu, dua, tiga, empat !” Alin menghitung langkah kaki kami bertiga layaknya pasukan gerak jalan. Aku di tengah diapit oleh Paulin dan Alin. Ah, rasanya indah nian ketika itu.

“Sebenarnya bukan ulang tahun sih. Hanya syukuran biasa. Rencanya mau ngajak tete Rani, Mei dan Tika. Itupun kalo mereka mau”. Jelas Niha singkat sambil belok ke gang kecil menuju kediamannya. Ku tatap punggungnya sampai menghilang di balik becak.

“....ku ingin jadi sesuatu yang mungkin bisa kau sentuh....
ku ingin jadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu....”
( Syair dari lagu Dealovanya Once )


****

Sudah mau Mahgrib. Sebentar lagi azan. Mungkin setelah sholat mahgrib aku baru akan berangkat mencari MP3 player. Namun setelah maghrib hujan masih terus membasahi kota Jogja. Tidak terlalu deras memang, namun cukup membuat basah seluruh tubuh. Sejenak ku berpikir akan tetap keluar rumah atau menundanya.
Bila menundanya maka besok aku tidak bisa memberikan kado buat Niha. Pada hal besok dia ulang tahun. Aku ingin sedikit membahagiakannya. Walau aku sadar Niha bukanlah Alin yang dulu pernah menyayangiku, menyintaiku dan rela meninggalkan keluarganya hanya untuk tetap bisa dekat denganku. Maafkan aku Alin. Dulu aku tak bisa membahagiakanmu. Andai saja aku bisa membalikkan waktu...izinkan aku menjadi kekasihmu.

Tetes hujan yang jatuh ke hidungku membuyarkan lamunanku saat itu. Dan dengan jas hujan yang sudah ku persiapkan tanpa pikir panjang lagi aku tancap gas sepeda motor bututku menuju sebuah Mall untuk mencari MP3 player. Kado untuk Niha.
“....andai saja kau tahu betapa aku selalu mengingatmu..mungkin ku tak mau malam berganti siang...
andaikan pula kau mengerti betapa besar harap dan mimpiku untukmu ....mungkin kau tak berpaling, dan andai saja kau bisa melihat dalamnya rinduku padamu...mungkin kau tak kan lari dariku....andai saja.....”

****

“Bubaran kuliah aku tunggu digerbang Selatan, jangan lupa ya. TQ “. Sepenggal sms kukirim ke nomer Niha.
“Ocre. Sampai ketemu di gerbang Selatan”. Balas Niha singkat.
Satu jam kemudian.

“Tumben pakai baju warna pink. Biasanya warna hijau”. Aku memulai pembicaraan begitu Niha datang menghampiriku. Hari ini dia tampak lebih manis. Mungkin Niha baru selesai makan duren, sebab aroma duren masih tercium dari jarak satu meter. Alamak....bisa mimisan hidungku. Apa mau dikata, aku harus bisa mengatur jarak dengannya.

“Biasalah...inikan bulan februari coy....masa gak tahu seh ?...atau pura-pura gak mau tahu ?”. Wow...komentar Niha sama sekali diluar dugaanku.
“Katanya ada sesuatu buat Niha, boleh dong aku tahu apaan ?” Tanya Niha penasaran.

“Ntar kalo dah sampai di pemondokan baru aku berikan. Sekarang aku haus dan ingin minum yang dingin-dingin nih. Kita ke cafe itu yuk”. Ajakku sambil menunjuk sebuah cafe yang agak sepi dan memang menyediakan minuman segar dan dingin.
“Boleh, yuk!”.

“Bakso dan es jeruknya dua ya mas”. Pesan Niha pada seorang pelayan yang langsung datang menghampiri kami. Cafe ini terletak tak jauh dari kampus. Posisinya sangat strategis. Berada di pojok sebuah gedung tiga lantai. Tidak terlalu besar. Mungkin berukuran tiga kali empat meter. Pilihan menunya juga sangat beragam. Menu favorit cafe ini adalah Bakso dengan ceker ayamnya. Aku sangat menyukai ceker ayamnya yang gurih, empuk dan tidak terlalu pedas. Sementara Niha sangat doyan dengan Mie Ayam.

“Saya baksonya jangan terlalu pedas ya mas”. Pesanku pada pelayan yang baru meninggalkan meja kami.
“Di fakultasku lagi ada masalah. Biasalah, masalah uang SPP dan iuran macam-macam yang pada naik”. Niha memulai obrolan.
“Fakultasku oke-oke aja tuh. Cuma tadi pagi anak-anak paad protes sama dosen terbang dari Jakarta”.
“Protes kenapa?. Mungkin dosennya kelewat killer atau tidak mengetahui karakter mahasiswanya?”. Tanya Niha ingin tahu.

“Baksonya Neng, Mas...” Kata pelayan.
“Terimakasih mas”. Balasku ketika pelayan datang menghidangkan pesanan.
“Hmmmm...mungkin saja. Teman-teman protes karena jadwal ujian tengah semester di percepat. Padahal materi kuliah belum ada separuhnya diberikan. Asal tahu aja, dosen tetap kita sedang Tugas Belajar ke Canada. Jadi dosen terbang ini hanya menggantikan, begitu non”. Aku menjelaskan.
“Hmmm....lezaaaat...Enak juga ya Mie Ayam disini”. Niha memejamkan matanya sambil merasakan nikmatnya Mie Ayam.

“Belum apa-apa sama rasa Bakso ini. Cobain deh!”. Sambil menyodorkan mangkok baksoku pada Niha. Niha mengambi sendoknya dan mencoba kuah bakso pesananku.
“Woooow....maknyozzz euy. Kita tukaran ya!”. Niha mendorong mangkok mie ayamnya kepada ku.

Aku bingung sejenak.
“Tukaran ?....tapi mangkok Niha sudah kosong gini?”.
Protesku dengan sedikit cemberut.
“Baksonya satu lagi mas”. Pesanku.
“Asli. Aku laper banget hari ini”. Gumam Niha yang wajahnya sudah berkeringat. Nikmat.

****

Di pondokan....

“Pondokanmu auranya aneh banget non. Bulu kudukku rada merinding euy”.
Pandanganku menyapu hampir seluruh halaman rumah begitu sampai di pemondokan Niha. Halaman rumahnya banyak ditumbuhi pohon melinjo yang tinggi. Ada pohon sawo dan pohon nangka. Dilihat dari bentuk dahan dan rantingnya pohon nangka tersebut sudah berusia lebih tua dari diriku.

“Mau masuk apa enggak ?” Tanya Niha tiba-tiba. Aku tak sadar kapan Niha masuk ke rumahnya.
“Iya, iya...” Jawabku singkat.
“Hmmm....mau ku bikinkan kopi atau teh manis ?” Niha menawarkanku minuman. Kepalanya muncul dari balik kain gorden penutup dapur.
“Jangan repot-repot non. Keluarin aja apa yang ada”. Jawabku ketus.
“Mau nya. Ada semua nih. Ada penggoreng, ada kompor, ada tungku gosong dan uleg-kan sambel nih. Mau yang mana ?”. Niha balik bertanya....

“Aku mau yang cerewet. Ditambah secuil senyuman manis, dibumbui semangkok kasih sayang yang dipanaskan diatas kepercayaan dan kesetiaan....setelah itu diuleg dengan rasa rindu.....ada gak ?”. Aku balik bertanya.
Tak ada jawaban.....

“Ngapain lihat-lihat diary Niha !”. Tiba-tiba Niha telah berdiri dihadapanku sambil merampas buku diary berwarna merah jambu. Wajah Niha memerah. Aku sedikit bingung.

“Maaf non. Diary itu sudah ada sejak tadi diatas meja, terbuka dan aku penasaran sehingga tak sengaja membacanya. Sekali lagi maaf. Tapi jangan marah 100% gitu dong. Jadi kelihatan jutex”.
“Biarin !. Mau jutex kek, jelek kek. Apa kek”. Niha mengomel, cemberut dan manyun. Aku menarik nafas berusaha untuk menenangkan perasaan. Ku lihat Niha duduk sambil menyembunyikan buku diarynya dibawah pantat.

“Siapa cowok yang ada dibuku diary tadi ?. Sedang patah hati nih ceritanya ?”. Aku berusaha untuk memecah kesunyian dengan memberanikan diri bertanya pada Niha. Agak lama baru Niha memberikan jawaban.

“Dia pacarku dulu. Waktu SMA sih, sekarang sudah kuliah di luar kota. Dia pengen kembali lagi. Tapi aku menolaknya. Kemaren dia kirim sms ngajak kita jadian lagi. Tapi aku cuekin isi sms nya. Tapi itu kisahku dulu”. Niha berusaha menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya dengan berdiri dan pergi ke dapur.
“Bentar ya. Aku ambilkan kopinya”. Niha berdiri dan melangkah ke dapur.
“Diarynya gak dibawa sekalian ?”. Aku meledeg.....
“Baca aja kalo mau !” Jawabnya singkat.

Pondokan Niha tidak begitu besar. Sebuah ruangan dengan ukuran dua kali dua meter. Namun cukup bersih dan asri. Kursi tamu juga cuma ada tiga dengan satu meja bundar. Aku suka dengan taplak mejanya yang berwarna biru muda dengan sulaman renda di sekelilingnya. Sebuah jambangan bunga bonsai kamboja berada di sudut ruangan. Aroma bunganya terasa bagaikan kuburan....merinding juga bulu kuduk-ku waktu pertama kali masuk tadi. Tapi sekarng sudah tidak lagi.

“Non, ngapain dibelakang....lama banget”. Teriakku dari ruang tamu.
“Bentar ! Aku lagi masak mie rebus. Tinggal ngasih bumbunya doang. Kamu duduk diam aja di sana”. Terdengar suara Niha sedikit berteriak.
“Bikinin aku juga ya. Hmmmm.....baunya dah samapai sini lho...”. Komentarku singkat.

Tak lama kemudian.
“Mamam yuk !”. Niha keluar dari dapur sambil membawa semangkok kecil mie rebus dan melatakkannya diatas meja bundar. Ukuran diameter mejanya kurang lebih enampuluh sentian. Tidak terlalu besar.

Aku terdiam sejenak....
“Kok Cuma satu ?” Tanyaku penasaran.
“Kalo ada dua bungkus dah ku rebus dua-duanya. Adanya cuma satu, gimana dong...” Niha memberikan alasan sambil terus menikmati mie rebus. Nih anak laper banget pikirku.
“Mau kusuapin ga ?”. Tanya Niha.
“Hmmmm”....
“Buruaaaan...mau gak ?”. Tanya Niha lagi.

Aku langsung sedikit membungkuk sambil membuka mulut lebar-lebar....Aku berharap Niha menyuapkan sesendok mie ke mulutku...tapi belum sempat sendoknya masuk ke mulutku Niha langsung memasukan sendoknya ke dalam mulutnya sendiri....
“Ha ha ha......” Tawa Niha sambil berlari ke dapur.
“Dasaaaaaar.....Awas, nanti ku balas”. Sergahku sambil kembali duduk.

Beberapa menit kemudian.

“Mana ? Katanya ada sesuatu buat Niha hari ini. Aku dah gak sabaran ni”. Tanya Niha setelah duduk manis di kursi tepat dihadapanku. Kami hanya dipisahkan oleh meja bundar yang kecil. Niha kelihatan lebih seksi dengan celana jean hitam ketat yang dikenakannya. Serasi dengan oblong putih yang ada sablon gambar hati dibagian dada. Rambut panjangnya diikat kebelakang. Poninya terurai sebatas alis mata. Lama kupandangi raut wajahnya.

“Jangan lama-lama dong ngelihatku....aku kan jadi Ge-er. Mau ngasih apa nih ?”. Paksa Niha dengan genitnya.
“Sabar sedikit kenapa ? “ Jawabku sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kresek warna hitam dan memberikannya pada Niha. Niha tersenyum, bola matanya berbinar.
“Waaaah.....Asyiik.....bisa dengerin musik dan lagu kesukaanku dong...Warnanya pink lagi....”.

“Bilang apa ? Kok diam aja”. Protesku.
“Bilang apa ya ?.....He he....Makasih....makasih banget” Jawab Niha sambil memegang erat MP3 player mungilnya.

“Koleksi lagu-lagunya masih sedikit lho. Nanti kalo aku ada waktu akan ku isikan dengan album lagu kesukaan Niha.
“Tapi...Nggak ada apa-apanya kan nanti ?” Tanya Niha yang membuat ku sedikit bingung. Tapi aku cepat tanggap atas keragu-raguan Niha.

“Suer !. Aku nggak kan minta apa-apa dari Niha. Aku tak akan mengharapkan sesuatupun darimu. Aku hanya belajar untuk memberikan kebahagiaan pada seseorang yang dulu pernah kusakiti hati dan perasaannya. Semua yang ku lakukan aku niatkan buat dia. Kamu gadis yang beruntung, punya wajah dan penampilan yang mirip dengan Alin. Tapi aku sadar. Niha bukan Alin”. Aku mencoba memberikan penjelasan. Dan ku lihat Niha termangu dalam tanda tanya.

“Koq diam ? “. Tanyaku
“Ku pikir alangkah bahagianya kalian dulu. Mbak Alin pasti beruntung bisa memiliki kamu sebagai kekasihnya”.

“Tapi aku terlalu sering membuat dirinya marah. Aku tertalu tolol membiarkannya pergi begitu saja. Aku tahu kalau Alin benar-beanr sayang dan menyintaiku saat kami di SMA dulu. Entah lah!....” Pikirku menerawang...
“Sudah sore nih non. Aku harus kembali ke kampus. Jam lima nanti ada kuliah Sejarah Seni”. Aku bangkit dari kursi dan ingin berpamitan.

“Niha...Bolehkah aku memelukmu ? Walau ku sadar dirimu bukanlah Alin. Tapi aku merasakan dirinya ada pada dirimu. Boleh ?....hanya untuk yang pertama dan terakhirnya”. Ku tatap dua bola mata Niha.
“Untuk yang pertama dan terakhirnya”....jawab Niha lembut.
Ku dekap lembut tubuh Niha...perlahan dan sedikit ragu...
“Maafkan aku Alin”. Bisikku ditelinga Niha”.

“....andai dirimu adalah dia sang pemilik cinta...akankan kau masih menyintaiku...akankah ada rindu yang melaut untuk diriku....Andai dirimu adalah dia sang pemilik kasih...akankah kau masih menyayangiku...akankah ada cinta yang suci untuk diriku....yang pernah menyakitimu ?...

[...bersambung]


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Terlambat Lagi

“Jeng. Bangun Jeng !. Sudah siang nih! Katanya mau sekolah. Bangun Jeng”. Suara Jufri membuat aku tersentak dari tidur. Belum sempat terjaga dari tidur Jufri sudah menyiramkan sisa air minum ke mukaku.

“Jufriiiiii.....!” Teriakku sambil mengejar Jufri yang lebih dulu berlari sambil menutup pintu kamar kost dari luar. “ Busyeeeeeet....” . Teriakku.


Jufri memang nakal. Tapi dia adalah seorang teman yang baik. Walau sedikit suka ja’im dan kadang-kadang konyol. Orang tua Jufri termasuk orang yang ramah, baik hati dan tidak sombong. Tapi keras kepala dan mau menang sendiri. Barangkali Jufri juga mewarisi watak yang sama dengan Ayahnya. Walau bagaimanapun Jufri adalah sahabatku. Sahabat satu kelas sekaligus sahabat satu kost.

Dan hari ini aku benar-benar terlambat sampai di sekolah. Pas di depan pintu kelas samar-samar ku dengar suaru ibu Simanjuntak. Alamak! Mati aku. Aku lupa kalau hari ini pelajaran Sejarah. Ber-arti aku harus mempersiapkan diri. Pertama telingaku harus tebal dan keduanya harus terbuka lebar agar apapun yang beliau katakan bisa masuk telinga kanan dan secepatnya bisa langsung keluar dari telinga kiri.

Intinya jangan sampai masuk ke hati. Kedua harus mempersiapkan sapu tangan. Bukannya untuk menghapus air mata. Tapi untuk membersihkan wajahku dari cipratan air liurnya. Semua anak sekelas sudah mengerti dan tahu persis apa yang akan terjadi kalau ibu Simanjuntak sudah mengomel. Bah! Seperti air sungai yang turun tiba-tiba. Soal malu dan sakit hati aku masih bisa menerimanya. Tapi untuk urusan yang satu ini, aku dan teman-teman benar-benar KO!. Bau!....itulah satu kata untuk menjelaskan betapa dahsyatnya aroma yang keluar dari mulut sang Naga Wanita.*

*maafkan aku dan teman-teman : muridmu yang 100% ja’im dan nakal bu Simanjuntak.

“Bah! Kau lagi rupanya. Apa kau tak pernah mau belajar dari pengalaman kau !. Kau sudah berulang kali terlambat. Terlambat terusnya kerja kau !”. Itu kata-kata pertama yang ku dengar begitu aku masuk ruang kelas setelah mengetuk pintu. Sekolah sedikit hening. Walau pada deretan bangku bagian belakang samar-samar terdengar suara cekikikan. Dan aku tahu persis itu suara siapa.

“Maaf bu. Saya terlambat lagi”.
“Tahunya aku. Semua murid-murid tahu kalau kau tuh terlambat. Tak usahnya kau jelaskan”. Logat bataknya kental sekali. Suaranya menggema. Bentuk tubuhnya yang kurus kecil dan hitam sangat tidak sesuai dengan suaranya yang melengking.

“Apa laginya alasan kau terlambat hari ini ?. Ibu tak mau kau pakai alasan yang itu-itu saja. Ketinggalan bis lah, ke-sianganlah, ditinggal angkotlah. Muaknya ibu dengan alasan yang itu-itu terus.”
Kini nada suaranya semakin tinggi. Dan aku cuma diam tanpa kata-kata.

“Apa alasan kau ! “. Bentak bu Simanjuntak. Gdebuk! Tangan kanannya memukul meja dengar keras. Hening sejenak dan tak satu suarapun terdengar.
“Maaf, bu. Saya sudah tidak punya alasan lagi. Semua alasan sudah saya pakai dan sudah saya sampaikan setiap kali saya terlambat, lagian saya sudah cari kesana-kemari tetap saja saya tidak menemukan alasan yang tepat untuk saya berikan pada ibu”.

Aku hanya bisa menundukkan kepala. Bukannya takut atau malu, melainkan ini cara terbaik untuk menghindari cipratan air liurnya yang sewaktu-waktu bisa dia semburkan dan muncrat ke wajahku. Dengan cara begini paling yang basah cuma rambutku. Walau tetap saja bau.

“Sekarang berdiri kau di sudut kelas sana. Kau pegang telinga kau sampai berakhir jam pelajaran ibu. Mengerti kan kau Andi ?”.
“Mengerti bu!” Jawabku singkat.
“Sekarang kita ulangan”. Tiba-tiba ibu Simanjuntak memberikan instruksi yang mendadak. Semua siswa tersentak dan beberpa orang siswa protes.

“Kemaren kita kan sudah ulangan bu, masa sekarang ulangan lagi.” Alin sang sekretaris sekonyong-konyong berbicara.
“Iya bu. Masa tiada hari tanpa ulangan ?”. Jufri yang seksi Keamanan ikut menimpali omongan Alin.

“Alin!. Jufri! . Kalian berdua berdiri. Temani teman kalian berdiri disana. Cepaaaat!”. Teriak ibu Simanjuntak dengan keras. Dan aku Cuma bisa tersenyum lebar memandang mereka berdua.

“Tenang Jeng, kami temani kau berdiri disini.” Bisik Jufri perlahan di telingaku begitu sampai di sudut kelas, tempat aku berdiri melaksanakan hukuman.
“Jam istirahat nanti biar aku kerjain ibu Simanjuntak”. Alin dengan sorot mata sipitnya berbisik tanpa takut sedikitpun diperhatikan oleh Ibu Simanjuntak.

“ Ya, terimakasih tuan putri berbuluh landak”. Balasku se-enaknya sambil meniup telinga kanannya.

“Ich !, enak saja bilang berbulu landak”. Protes Alin sambil mencubit perutku.
“Kalian bertiga! Bisa diam tidak!...atau ibu suruh keluar saja kalian”. Tiba-tiba ibu Simanjuntak membentak dari tengah ruangan kelas. Saat itu soal ulangan tengah di bagi-bagikan.

“Andi bu !, yang memulai. Masa saya dibilang putri berbuluh landak ?” Sahut Alin sambil cemberut.

“Alin yang duluan bu. Masa perut lapar saya di cubit dengan jepitan kepiting. Kan sakit bu…” Jawabku se-enaknya membelah diri.
Tanpa dikomando seluruh siswa bersorak….
Huuuuuuuu…….

“Diam !. Bentak ibu Simanjuntak dengan lantang.
“Kalian semua, seperti di kebun binatang saja. Sudah! kerjakan semua soal yang ibu berikan. Dan kalian bertiga ! Ikut ibu ke ruangan BP”. Lanjut ibu Simanjuntak.

“Ya…….ibu…..” Serentak kami bertiga menggerutu sambil berjalan meninggalkan ruangan kelas di iringi dengan sorak gembira teman-teman.

“….teman, dulu ada canda diantara kita, canda dan tawa dalam bingkai sahabat…tawa dan canda dalam pigura kasih dan sayang….antara ku dan kalian..ku ingin kalian tetap mengenangku dalam setiap hari nan berlalu, dalam setiap detik nafasmu dan dalam setiap degup jantungmu…teman…dulu ada tawa dan canda kita dalam setiap hari nan kita lalui…andaikan saja diriku tak jauh dari kalian….mungkinkah tawa canda itu bisa kita
nikmati ? “


****

Seminggu kemudian.

“Lihat Alin gak Juf ?”
“Coba tanya ke kantor polisi saja Jeng. Mungkin pak polisi tahu”. Jawab Jufri se-enaknya. Ujeng adalah nama panggilan akrabku. Cuma teman-teman satu geng yang memanggilku dengan sebutan Jeng. Menurut teman-teman aku orang yang paling suka membuat orang lain jengkel dan menyebalkan. Tapi anehnya mereka tetap suka dan senang berteman denganku.

“Aku duarius nih Jufri....dah dua hari aku belum ketemu Alin”.
“Bilang saja kangen, Jeng!” Balas Paulin sambil duduk dikursi kantin. Paulin adalah teman dekat Alin. Mereka berdua sama-sama pintar. Sama-sama ja’im dan sama-sama manis. Paling tidak kalau dibandingkan dengan anak-anak cewek dari kelas lain. Mereka berdua bisa dibilang primadonanya SMA tempatku sekolah. Tapi itu kata hatiku saja. He he...

“Lontong pecelnya tiga bi. Saya tidak pake pedas”. Seru Jufri pada bi Suti sambil menggeserkan tempat duduk.
“Saya tidak pake kuah kacang ya bi”. Paulin menimpali.
“Saya tidak pake piring bi, juga tidak pake sendok. Nanti biar non Paulin yang menyuapi saya...Ha ha ha .....”.
Paulin berdiri.

“Apa....?, memangnya aku pembantumu apa ?” . Sergah Paulin sambil sedikit melotot. Matanya sipit, jadi agak sedikit aneh dan lucu kalau seorang Paulin sudah melotot.
“Biar aku yang traktir non . Tapi suapi aku satu sendok saja. Mau kan ?” Sahutku sambil mengusap-usap tempat duduk Paulin dengan kertas koran yang ku remas-remas.

“Makacih....Pangeran Kodok...”. Balas Paulin sambil tersenyum layaknya seorang selebritis.
“Aku nanti sore mau ke tempat kost-nya non Alin. Ada yang mau nemani aku gak ?”.Aku bertanya pada dua orang sahabatku yang juga merupakan sahabat non Alin.

“Aku gak bisa Jeng. Nanti sore aku mau memandikan kucing bapak-ku. Soalnya sudah tiga hari belum dimandikan. Jadi sori aja ya Jeng.” Jawab Jufri sambil tetap mengunyah lontong pecelnya tanpa bergeming sedikitpun.

“Paulin, bisa gak nemani aku ke kosannya Alin?” Tanyaku pada Paulin yang tengah menyeruput es teh manis kesukaannya. “Bentar ya Jeng. Aku mikir dulu”. Balasnya.
“Payah kalian. Giliran makan gratis cepat banget iya nya. Giliran minta tolong susah banget. Ya sudah!, nanti sore aku pergi sendiri”. Balasku singkat dengan sedikit cemberut.

“Boleh nambah gak Jeng?!”. Tiba-tiba Paulin berdiri sambil menyodorkan piring kosong bekas lontong pecel yang sudah habis berpindah tempat. Pindah keperutnya.
“Edan lo Paulin. Lontong pecelku saja belum berkurang, kamu sudah nambah. Nambah lontong pecelnya atau nambah bebanku ?” Aku balik bertanya dengan sinis.

“Dua-duanya kali Jeng. Biar lengkap penderitaan kau”. Jufri menambahkan. Tanpa rasa salah dan berdosa sedikitpun.
“Boleh ya Jeng. Ini yang terakhir”. Kembali Paulin merayuku sambil mengedipkan matanya yang besar. Bagaikan mata anjing pudel.

“Ya, deh!, tapi bener ya. Ini yang terakhir, awas kalo nambah lagi”.
“Kalo nambah lagi memangnya kenapa?” Paulin balik bertanya.
“Kalo nambah lagi uangku cepat habis, tahu !” Balasku singkat.

Mungkin sudah nasibku punya teman yang selalu merongrong diriku. Tapi anehnya aku menyukai mereka semua. Mereka adalah teman dalam suka dan dukaku. Walau kadang-kadang mereka sering merepotkan diriku.Capedeeeee

“.....dulu disudut kelas kita ada jiwa yang pernah hadir dalam hati kita masing-masing....jiwa yang senantiasa mewarnai hari-hari kita nan cerah...kadang menangis dan berteriak lantang...kadang mncemo’oh dan kadang mencibir dalam bahasa yang kita tak suka...
...kini, jiwa itu tlah dipanggil Sang Pemilik sukma dan raga...Tuhan, maafkan kami atas semua kebodohan dan ketidak-tahuan kami atas semua ilmu yang Kau sembunyikan dari mata fana kami...”


****

Kado Terakhirku

“Buka pintunya dong….aku mau masuk nih. Buruan….”. Dan tetap tak terdengar suara apapun dari balik pintu.

“Alin, buka dong….Kenapa sih pake dikunci segala?” Aku kembali berusaha merayu agar Alin mau membukakan pintu kamar kosnya. Diam sejenak, tak ada tanda-tanda bahwa pintu akan dibuka.

“Say.....buka dong, kalo aku gak boleh masuk ke dalam buka sedikit saja pintunya. Aku tahu kamu sedang sakit. Alin takut kalau aku kabur setelah aku melihat wajahmu jadi jelek ya?”.
Aku berusaha membuka pembicaraan kendatipun pintu kamarnya tetap tertutup. Tetap tak ada tanda-tanda ada kehidupan dari dalam kamar. Perasaanku jadi khawatir, waswas dan bercampur dengan sejumlah pertanyaan.

Aku tahu, Alin marah besar ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa aku menggandeng Rani dengan mesra. Sebenarnya Rani sengaja berbuat demikian agar Alin cemburu. Aku tak tahu kalau kejadian minggu lalu adalah benar-benar sebuah rekayasa Rani yang tidak rela melihat aku dan Alin menjalin hubungan. Dan aku hanya bisa duduk diam bersandar pada dinding pintu kamar kost Alin. Perlahan ku tempelkan telingaku ke daun pintu untuk sekedar mendengar kalau-kalau ada aktivitas dari dalam. Sepi dan senyap, tak ada tanda-tanda kalau Alin ada di dalam. Tapi rasa penasaranku terus memaksa agar aku jangan pergi dulu.

A ha....Ada ide. Tiba-tiba saja aku tersentak gembira ketika muncul sebuah ide. Perlahan ku lepaskan alas kaki dan berpura-pura melangkah meninggalkan kamar kost Alin. Suara langkahku sengaja dikeraskan agar Alin tahu bahwa aku telah pergi. Setelah agak sedikit jauh dari pintu kamarnya aku kembali lagi dengan bertelanjang kaki sehingga tidak menimbulkan suara sedikitpun.
Benar saja. Baru beberapa menit berlalu terdengar ada suara dari dalam kamar.

Perlahan tapi pasti terdengar lagi suara kunci pintu berderik. Aku tetap diam sambil menahan nafas. Dan dengan perlahan-lahan daun pintu pun dibuka sedikit demi sedikit. Setelah itu muncul sebuah kepala dengan rambut panjang dari balik pintu. Wajahnya menatap kearah pintu gerbang. Membelakangiku. Aku tetap diam dan berusaha untuk bisa menyelinap masuk kekamarnya.

Alin melangkah keluar kamar menuju pintu gerbang. Ku lihat langkah kakinya sedikit lunglai. Dengan baju piyama merah jambu dia terus melangkah. Aku tahu, Alin hanya ingin memeriksa keadaan apakah diriku sudah benar-benar pulang atau tidak. Tapi satu hal yang dia tidak tahu bahwa kini aku sudah berada di dalam kamarnya. Sengaja posisi pintu kamar tidak aku tutup, ini kulakukan agar dia tidak merasa curiga.

Pintu tertutup.

“Sudah!. Ngapain pake ngumpet segala. Kamu pikir aku gak tahu ya”.
Aku tersentak. Terkejut dan binggung.Tapi aku tetap berdiri diam mematung dibalik tirai bambu dekat jendela.

“Mau keluar apa enggak sih ?....atau Alin panggilin ibu kos dan berteriak maling....?”.

“Meooong......ini kucing....lho....”. Balasku dari balik tirai bambu dengan perasaan bersalah, binggung dan culun.
“Kucing apaan !...Kucing buduq iya. Jelek ! Cowok jelek. Alin benci cowok jelek. Nakal dan ja’im”. Alin dengan nada sebel membanting-banting bantal guling ke tempat tidurnya.

Sorot matanya tajam menatapku yang sudah lama berdiri disamping tempat tidur. Aku cuma diam dalam seribu kata. Yang ku lihat ada tetes air bening jatuh dari dua bola mata sayunya menuruti pinggiran pipinya yang kuning langsat.

“Aku cuma mau minta maaf untuk semua hal menyakitkan yang pernah ku lakukan padamu, sejak awal kita berkenalan dan sampai hari ini. Bukan untuk apa-apa”.
Aku berusaha membuka pembicaraan. Namun Alin tetap memeluk bantal guling dan merangkulnya. Ditutupnya matanya yang berlinang air mata. Terdengar isak tangisnya.

Aku tak tega bila sudah melihat seorang gadis menangis dihadapanku. Seorang gadis yang menyayangi dan penuh perhatian pada diriku yang sok ganteng dan sok pintar ini. Rasanya aku tak pantas menjadi pendaming hidupnya.

“Aku boleh ngomong gak nih ?, Alin sudah tiga hari gak masuk sekolah lho. Teman-teman pada nanyain kamu. Mereka kira aku sudah berbuat sesuatu pada Alin. Mereka semua menyalahkan aku. Tadinya aku bisa cuek dengan pertanyaan mereka, tapi lama-lama aku jadi capek dan bosan sendri. Biar jelek begii aku juga manusia juga. Punya hati dan perasaan. Sama seperti Alin, sama seperti teman-teman kita yang lainnya. Kamu dengar aku ngomong nggak sih?”.

“Alin, lihat aku dong....untuk kali ini saja. Setelah hari ini kamu nggak akan lihat diriku lagi, dan aku gak....akan lihat...”

“Jangan ! . Jangan teruskan ucapanmu Jeng. Ku mohon jangan”. Alin tiba-tiba bangkit dan duduk di tempat tidur sambil tetap memeluk guling.
Ku hampiri dirinya. Aku bersimpuh diantara dua lututnya yang tertutup dan menggantung di tempat tidur. Wajahnya menunduk tertutup bantal.

“Maafkan aku. Aku tak bermaksud menyakiti hati dan dirimu. Aku sadar bahwa aku terlalu banyak menyakitimu. Tapi ketahuilah bahwa itu bukan mau ku”. Aku berusaha menjelaskan. Atau paling tidak berusaha membelah diri.
Ku genggam dua tangan Alin yang dingin dan basah. Ku tatap raut wajahnya yang memerah. Reflek ku tempelkan ujung jari kananku ke bibirku dan dengan perlahan kutempelkan ke pipi kanannya, namun belum sempat ujung jariku menempel....tangan kanan Alin meraih jariku dan menempelkannya ke bibirnya...

Alin menunduk dan aku yakin.....sorot matanya yang sayu menyimpan sejumlah tanda tanya”.

“Boleh aku bertanya ?”.
“Tentang apa ? Silahkan. Tapi jangan pertanyaan yang sulit untukku jawab”.
“Bagaimana Alin tahu kalau aku sudah ada di dalam tadi ? Tanyaku dengan penasaran.
“Ha ha ha...kamu tuh aneh, tahu gak. Dari luar pengen ke dalam...udah di dalam malah nanya dari mana Alin tahu. Lucu banget”. Alin ber-alasan dengan gayanya yang khas.

Kini Alin sudah tak sedih lagi. Karena sorot matanya kini sedikit berbinar-binar. Syukurlah pikirku.
“Hey...aku tuh bertanya..dari mana Alin tahu ?” . Aku bangkit dan duduk disamping Alin sambil menggenggam kanan kanannya.

“Kamu tadikan berdiri dibalik tirai. Tapi kamu lupa kalo tirai bambunya sedikit menggantung...jadi aku bisa lihat jempol kakimu nonggol dari balik tirai....Ha ha ha....”

“Makanya kalo mau ngumpet tuh di bawah ketek gue” Tambah Alin sambil menempelkan tangan kirinya ke hidungku.
“Jorooooook......dan bau.....tahu!” Sergahku.
“Tapi kamu suka kan ?......He he he....” Balas Alin tak mau kalah.
“Oiya, aku bawakan Alin sesuatu. Cuma aku gak tahu apakah Alin menyukainya”.
“Sesuatu ?....Wah! apa ya ? , kayanya aku bisa menyukainya”.

“Bentar ya, aku ambilkan. Barangnya ada diluar koq, itupun kalau belum dimakan kucing” . Jawabku sambil beranjak keluar kamar untuk mengambil sebuah kotak warna biru muda yang ku sembunyikan tadi.

Kemudian.

“Aku datang....Ini untuk Alin...silahkan dibuka non manis”. Aku mempersilahkan Alin untuk membuka bungkusan.
“Dibawah saja ya. Tempat tidurku masih berantakan”.
“Terserah, asal tetap dibuka” Balasku singkat.
Tanpa ragu Alin membuka bungkusan yang kuberikan dengan cepat.
“Wooow.....Akuarium...Ich, ada ikannya juga. He he...lucu bangeeet....ada daun nya lagi....ada batu kerikil warna warninya juga. Tapi ini ikan apa ?” Tanya Alin dengan raut wajah culunnya.

“Ini ikan cupang non. Aku beli di pasar. Sengaja aku pilih warna biru ke-unguan....cantik kan non ?” Tanyaku.
“Cantikan mana sama Alin ?” Senyum genitnya menebar pesona. Ah, Alin.....bisa aja.
“He he....cantikan ikan cupangnya duong”. Jawabku singkat.
“Ya....udah ! Pulang sana gi !” Alin cemberut....sambil menyodorkan kembali akuarium kecilnya padaku.

”Ikan cupang dibela-belain....Pacaran aja sama ikan cupang”.Tambahnya lagi dengan bibirnya yang manyun.
“Gini non. Ikan cupangnya memang cantik...tapi....Alin jauh lebih cantik....makanya jangan cemberut terus....Ha ha ha.....” Balasku menjelaskan, sebenarnya bukan menjelaskan...hanya membelah diri. He he...
“O....gitu ya...”. Komentar Alin singkat. Sambil terus memandangi akuarium dan mengaduk-aduk ikannya .
“Hei ! mati ntar ikan cupangnya, jangan diaduk gitu non”. Sergaku. Alin Cuma diam.
“Ini sekalian aku bawakan makanan ikannya. Tapi jangan banyak-banyak ngasih makannya ya non”.
“Memangnya kenapa kalo banyak-banyak. Ikannya jadi cepat gede ya ?” Tanya Alin penasaran.
“Ha ha ha ...bukan jadi cepat gede non. Tapi makanan ikannya jadi cepat habis....Ha ha ha....” Jawabku sambil mencubit hidung lancipnya.
“Iya ya...jadi cepat habis...”
“Makasih ya, dah mau lihat dan jenguk aku. Beberapa hari ini aku kena typus.

Kata dokter aku disuruh banyak istirahat dan mengurangi aktivitas sekolah yang berat-berat. Kamu baik Jeng….” Alin menjelaskan mengapa dia tidak masuk sekolah beberapa hari ini.
“Iya. Terimakasih juga karena sudah mau menerima kedatanganku. Meskipun harus pake acara ngumpet segala. Pake acara nangis lagi. Tapi aku tetap sayang sama kamu. Peluk aku say….” Ku peluk tubuh mungil Alin dengan mesra.
Dan Alin membalas dekapanku dengan hangat. Meski ku tahu Alin belum mandi….masih ada bau ilernya…BTW, it’s oke lah.
“Jangan tinggalkan aku sendirian ya Jeng” Bisik Alin di telingaku.
“Dan jangan pernah mau ku tinggalkan ya say” Balasku dengan lembut di telinganya.

“…cinta…adalah secuil rasa dari sejuta rasa yang pernah ada dan tercipta dari jiwa yang bersih….
dan cinta itu tak bisa membedakan siang dan malam….
gelap dan terang…apa dan siapa….walau cinta itu buta bukanlah alasan tuk men-dewa-kannya….biarlah cinta itu berdiri sendiri, memiliki dunianya sendiri, dan biarlah kita hidup berdampingan dengan cinta….sepanjang cinta bisa memberikan makna dan arti dalam hidupku…”


****
Kelanjutan cerita ini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS