...Empat tahun berlalu.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka menuliskan semua kejadian dalam buku diary. Aku akan menulis kalau hati nuraniku berkata .
“Teruslah menulis, cobalah dengan kata-kata yang mudah ditulis. Jangan malu dan sungkan. Nanti kalau sudah menjadi sebuah buku cerita atau novel, akan ada yang mau membacanya”. Bathinku selalu mengucapkan kata-kata nasehat yang sama setiap kali aku baru memulai membuka laptop mini milik istriku. Dan kalau sudah begini maka suka atau tidak suka aku akan menulis apa saja yang bisa dijadikan kalimat. Kadang rasa malas selalu menjadi pemenang.
Cuek dan suka memperhatikan orang lain adalah salah satu sifat bawaanku sejak masih kecil. Suka bercanda dan bercerita dengan ekspresif adalah bagian dari diriku yang selalu keluar tanpa aku sadari. Selebihnya adalah karakter yang mengikuti suasana dan lingkungan. Kadang-kadang aku bisa juga bersikap masa bodoh atau tidak mau peduli pada orang lain. Kadang-kadang aku bersikap manis atau teramat manis. Anehnya lagi aku juga bisa bersikap seperti kaca cermin. Apa yang aku dapatkan dari orang lain itulah yang aku berikan pada mereka.
Aku putra ke-7 dari sembilan bersaudara. Kakak perempuanku hanya dua orang. Mereka berdua sangat sayang pada diriku. Kini mereka sudah berkeluarga dan hidup dengan anak-anak dan suami mereka. Aku menyesal tidak bisa setiap waktu berdekatan dengan mereka.
Jauh dari orangtua dan keluarga mungkin telah banyak memberikan pelajaran pada diriku. Aku harus belajar banyak hal dalam mengerjakan dan menyelesaikan sesuatu. Dulu aku Cuma bisa menyuruh dan memberikan sejumlah perintah pada seorang pembantu rumah tangga. Tapi sekarang tidak lagi. Mulai bangun pagi, mandi, menyiapkan sarapan pagi dan lain-lain aku kerjakan sendiri. Awalnya sedikit sulit dan malas untuk mengerjakannya. Tapi lambat laun semuanya menjadi mudah dan terasa ada makna yang baru ku temukan. Aku sedikit menjadi lebih dewasa dan bisa mengatur waktu sendiri.
Namun kadang-kadang aku merasa sedih dan ingin menangis kalau mengingat semua masa laluku yang terbuang sia-sia. Lebih-lebih bila sudah mau tidur. Menatap langit-langit kamar dan menerawang khayalan jauh tanpa batas.
Terbayang senyum manca dan tawa riang adik-adikku yang nakal. Ingat keponakan, anaknya bibi dan bocah kecil yang hitam dan manis anak tetangga yang suka ku jailin. Namun di sini, aku hanya sendiri dalam sepi dan diam.
Tapi aku tetap yakin, bahwa aku bisa melewati setiap hari yang akan ku lalui dengan semua kekurangan dan keterbatasannku sebagai manusia. Terima kasih Bunda, terimakasih Ayah. Kalian sudah memberikan banyak hal pada diriku.
“…berteman sepi bukanlah ku larut dalam duka…berteman sunyi bukanlah memaksaku tuk menangis…berteman senyap dan hampa…tidaklah memaksaku tuk bermuram durja…karena sepiku adalah diam dalam khayal dan harap….karena sunyiku adalah mimpi yang kan kujadikan nyata….karena senyap dan hampaku adalah tidur dalam karyaku…”
****
Mungkin bukan hanya dirimu yang mirip dengan wajahnya. Rambutnya, senyum dan warna kulitmu juga hampir sama. Mungkin juga karena aku sudah tak bisa lagi membedakan warna-warna kulit lagi. Kecuali beda kulit duren dengan kulit rambutan. Awalnya ku tak menyadari kehadiranmu dalam hari-hariku. Mungkin karena sikap cuek dan acuh diriku telah menutup tabir fanaku akan dirimu.
Mungkin juga aku adalah manusia paling tolol dan bodoh untuk urusan hati dan perasaan. Atau sebaliknya, aku manusia paling sensitif dan peka terhadap urusan hati dan perasaan…dan apapun kesimpulanya izinkan aku melanjutkan kisah ini.
Mungkin ini adalah kisah kasih yang tidak akan pernah laku tuk dijual kepada penerbit manapun. Baik penerbit lokal maupun penerbit international, mungkin jauh panggang dengan apinya. Akh, entahlah. Makanya tetap izinkan diriku tuk meneruskan kisah ini. Daripada anda berpusing kepala untuk menemukan dan memberikan alasan yang dibuat-buat oleh anda sendiri.(^_^)
“…. Seraut wajah datang dengan senyum tersungging dari bibi mungilnya…seraut wajah pergi dari kisah hidup yang tak ku awali….seraut wajah mengisi hatiku dalam kenangan yang tak bertepi dan kemudian hilang dibalik awan putih….
ku sedih dalam tungguku yang tak tahu akhirnya bila…”
****
Mengapa Tuhan menciptakan makhlukNya selalu ada yang sama. Atau paling tidak sedikit mirip dan nyaris sama ? Ada apa dibalik semua penciptaan ini ? Terkadang aku tak percaya kalau seorang gadis yang selalu ku goda dengan lambaian tangan dari kertas adalah orang lain. Bukan dirinya yang pernah mengisi dan menorehkan sekian kenangan dalam hidupku. Aku sadar, gadis yang berdiri dengan memakai kaos warna merah jambu itu bukanlah Alin. Alin yang dulu pernah ku kenal. Pernah mengisi relung hatiku. Ya, Alin.
Tapi gadis itu bukan Alin. Alin yang selalu menari dalam khayalan dan mimpiku. Bercanda dalam tawa disetiap ceriaku walau berakhir duka. Dan seraut wajah yang ada dihadapanku kini benar-benar telah merobek kisah laluku yang tertimbun nostalgia, terimpit kisah lama dan tertinggal dalam waktu. Dulu.
“Senyum dong…”. Itu kata-kata yang selalu ku ucapkan setiap kali dia ku temui. Senyumnya yang khas membuat aku kehilangan kata-kata untuk memulai perkenalan. Dan hari-hari yang berlalu adalah sejuta diam dalam seribu harap dan khayalku.
“....dia bawakan ku mimpi dan berikan ku senyum, dan berikanku kembali seribu kenangan yang tertinggal di balik harapan....dulu dia pernah ada dan berada dihatiku...dengan nafasnya ku bisa semangat tuk jalani hidupku walau luka bagai sembilu....dan kau ada didepanku...”
****
“Boleh minta nomer HP nya?” Tanpa canggung aku berusaha mendekati Niha begitu ada kesempatan dalam kesempatan. Bukan kesempatan dalam kesempitan lho.
“Nomernya doangkan? Hpnya enggak kan...he he” Jawab non Niha sambil tersenyum.
”La iyalah. Nomernya doang. Ini, masukin ke HP-ku saja.” Mintaku pada Niha. Dan mulailah Niha memencet beberapa angka.
Lamaku tatap wajahnya yang menunduk. Rambut panjang dengan poni sebatar alis matanya mengingatkanku pada Alin. Dulu aku pernah memotong poni Alin dengan gunting tumpul, sehingga poni Alin jadi acak-acakan dan tidak rata. Kalau aku mengingat hal tersebut ingin rasanya kembali ke masa lalu. Memeluk dan mendekapnya.
“Ini nomernya. Sekalian isikan pulsanya ya. He he”. Dengan senyum simpul Niha mengembalikan Hpku.
“Thanks ya”. Jawabku singkat. Dan aku masih memandangi Niha menghilang di balik gang kecil disamping tembok bangunan dua lantai.
“Ahirnya !”. Aku membatin.
“...kau datang saat dia pergi...kau hadir kala dia menghilang dari mimpiku....kau ingatkan aku dari lupaku yang tertinggal...dan kau lupakan ku kemudian...menghilang dari bayang-bayang mu...”
****
“Kenapa sih suka muterin lagu anak-anak. Memangnya waktu kamu kecil dulu kurang bahagia ya ?”. Tanya Niha dengan penasaran. Dia berusaha untuk tidak terlalu lama menatapku. Aku heran, kenapa Niha selalu berusaha menghindari tatapanku setiap berbicara denganku.
“Bukannya aku kurang bahagia non. Justru aku berusaha untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tahu gak, orang yang paling bahagia di dunia ?”. Tanyaku dengan nada bercanda.
“Enggak ! Mungkin orang yang bahagia banget kale. Ha ha ha...” Jawab Niha dengan bibir mungil yang dimanyunkan. Kalau sudah tersenyum seperti ini maka dagu lancipnya terlihat seperti bintang kartun Samurai X ....Inuyasa.
“Orang yang paling bahagia adalah orang yang bisa memberikan kebahagiaan pada orang lain. Bisa membagikan senyuman pada diriku sehingga aku tetap bisa senang dan happy....he he....atau bisa juga membagikan kebahagiaan lewat sms atau....”
“Atau pulsa gratis buatku !....Ha ha ha...” Sambung Niha dengan ceria, tanpa rasa canggung.
“Hmmmm.....bisa juga ! Selagi sms nya buat-ku....he he....” Jawabku singkat.
“Oiya, sekalian saja aku mintanya fotonya ya. Niha pake HP ku saja. Tapi kalau ada telpon masuk atau sms jangan dibuka ya”. Pintaku pada Niha sambil memberikan HP ku padanya.
“Bener nih ?...Aku kan jelek...nanti bisa ngerusak HP nya lagi. Jangan salahin Niha ya”.
“Ya enggak lah. Masa wajah jelek bisa ngerusak HP, memengnya virus....Enggak kan”. Jawabku seenaknya.
“Ya udah. Tapi Niha mau pulang dulu. Laper euy”.
“Oke, tapi nanti jangan lupa balikin HP ku ya. Fotonya yang bagus lho, janji “. Balasku singkat. Dan aku berharap kelak aku bisa memandangi wajahnya di layar HP. Dan bila aku rindu pada Alin maka wajah Niha sedikit bisa mengobati semua kerinduanku padanya.
Kemudian
“Fotoku jangan di plototin terus, nanti warnanya berubah. Jelek kan wajahku, ada jerawatnya”. Muncul sebuah pesan singkat di HP ku. Lucu juga ketika ku baca sms dari Niha. Walau bagaimanapun aku senang menerima sms darinya.
“Jelek sih enggak. Tapi kalo jelek banget...iya juga sih!”. Balasku lewat sms juga.
“Ya.....
Keesokan hari.
“Katanya lusa Niha ulang tahun ya. Ulang tahun yang ke berapa non, kalau aku boleh tahu”. Tanyaku pada suatu hari ketika keluar kampus bersama. Agak aneh rasanya ketika berjalan bersama Niha. Aku teringat sewaktu jalan kaki bertiga dengan Alin dan Paulin...........”Tu, dua, tiga, empat !” Alin menghitung langkah kaki kami bertiga layaknya pasukan gerak jalan. Aku di tengah diapit oleh Paulin dan Alin. Ah, rasanya indah nian ketika itu.
“Sebenarnya bukan ulang tahun sih. Hanya syukuran biasa. Rencanya mau ngajak tete Rani, Mei dan Tika. Itupun kalo mereka mau”. Jelas Niha singkat sambil belok ke gang kecil menuju kediamannya. Ku tatap punggungnya sampai menghilang di balik becak.
“....ku ingin jadi sesuatu yang mungkin bisa kau sentuh....
ku ingin jadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu....”
( Syair dari lagu Dealovanya Once )
****
Sudah mau Mahgrib. Sebentar lagi azan. Mungkin setelah sholat mahgrib aku baru akan berangkat mencari MP3 player. Namun setelah maghrib hujan masih terus membasahi kota Jogja. Tidak terlalu deras memang, namun cukup membuat basah seluruh tubuh. Sejenak ku berpikir akan tetap keluar rumah atau menundanya.
Bila menundanya maka besok aku tidak bisa memberikan kado buat Niha. Pada hal besok dia ulang tahun. Aku ingin sedikit membahagiakannya. Walau aku sadar Niha bukanlah Alin yang dulu pernah menyayangiku, menyintaiku dan rela meninggalkan keluarganya hanya untuk tetap bisa dekat denganku. Maafkan aku Alin. Dulu aku tak bisa membahagiakanmu. Andai saja aku bisa membalikkan waktu...izinkan aku menjadi kekasihmu.
Tetes hujan yang jatuh ke hidungku membuyarkan lamunanku saat itu. Dan dengan jas hujan yang sudah ku persiapkan tanpa pikir panjang lagi aku tancap gas sepeda motor bututku menuju sebuah Mall untuk mencari MP3 player. Kado untuk Niha.
“....andai saja kau tahu betapa aku selalu mengingatmu..mungkin ku tak mau malam berganti siang...
andaikan pula kau mengerti betapa besar harap dan mimpiku untukmu ....mungkin kau tak berpaling, dan andai saja kau bisa melihat dalamnya rinduku padamu...mungkin kau tak kan lari dariku....andai saja.....”
****
“Bubaran kuliah aku tunggu digerbang Selatan, jangan lupa ya. TQ “. Sepenggal sms kukirim ke nomer Niha.
“Ocre. Sampai ketemu di gerbang Selatan”. Balas Niha singkat.
Satu jam kemudian.
“Tumben pakai baju warna pink. Biasanya warna hijau”. Aku memulai pembicaraan begitu Niha datang menghampiriku. Hari ini dia tampak lebih manis. Mungkin Niha baru selesai makan duren, sebab aroma duren masih tercium dari jarak satu meter. Alamak....bisa mimisan hidungku. Apa mau dikata, aku harus bisa mengatur jarak dengannya.
“Biasalah...inikan bulan februari coy....masa gak tahu seh ?...atau pura-pura gak mau tahu ?”. Wow...komentar Niha sama sekali diluar dugaanku.
“Katanya ada sesuatu buat Niha, boleh dong aku tahu apaan ?” Tanya Niha penasaran.
“Ntar kalo dah sampai di pemondokan baru aku berikan. Sekarang aku haus dan ingin minum yang dingin-dingin nih. Kita ke cafe itu yuk”. Ajakku sambil menunjuk sebuah cafe yang agak sepi dan memang menyediakan minuman segar dan dingin.
“Boleh, yuk!”.
“Bakso dan es jeruknya dua ya mas”. Pesan Niha pada seorang pelayan yang langsung datang menghampiri kami. Cafe ini terletak tak jauh dari kampus. Posisinya sangat strategis. Berada di pojok sebuah gedung tiga lantai. Tidak terlalu besar. Mungkin berukuran tiga kali empat meter. Pilihan menunya juga sangat beragam. Menu favorit cafe ini adalah Bakso dengan ceker ayamnya. Aku sangat menyukai ceker ayamnya yang gurih, empuk dan tidak terlalu pedas. Sementara Niha sangat doyan dengan Mie Ayam.
“Saya baksonya jangan terlalu pedas ya mas”. Pesanku pada pelayan yang baru meninggalkan meja kami.
“Di fakultasku lagi ada masalah. Biasalah, masalah uang SPP dan iuran macam-macam yang pada naik”. Niha memulai obrolan.
“Fakultasku oke-oke aja tuh. Cuma tadi pagi anak-anak paad protes sama dosen terbang dari Jakarta”.
“Protes kenapa?. Mungkin dosennya kelewat killer atau tidak mengetahui karakter mahasiswanya?”. Tanya Niha ingin tahu.
“Baksonya Neng, Mas...” Kata pelayan.
“Terimakasih mas”. Balasku ketika pelayan datang menghidangkan pesanan.
“Hmmmm...mungkin saja. Teman-teman protes karena jadwal ujian tengah semester di percepat. Padahal materi kuliah belum ada separuhnya diberikan. Asal tahu aja, dosen tetap kita sedang Tugas Belajar ke Canada. Jadi dosen terbang ini hanya menggantikan, begitu non”. Aku menjelaskan.
“Hmmm....lezaaaat...Enak juga ya Mie Ayam disini”. Niha memejamkan matanya sambil merasakan nikmatnya Mie Ayam.
“Belum apa-apa sama rasa Bakso ini. Cobain deh!”. Sambil menyodorkan mangkok baksoku pada Niha. Niha mengambi sendoknya dan mencoba kuah bakso pesananku.
“Woooow....maknyozzz euy. Kita tukaran ya!”. Niha mendorong mangkok mie ayamnya kepada ku.
Aku bingung sejenak.
“Tukaran ?....tapi mangkok Niha sudah kosong gini?”.
Protesku dengan sedikit cemberut.
“Baksonya satu lagi mas”. Pesanku.
“Asli. Aku laper banget hari ini”. Gumam Niha yang wajahnya sudah berkeringat. Nikmat.
****
Di pondokan....
“Pondokanmu auranya aneh banget non. Bulu kudukku rada merinding euy”.
Pandanganku menyapu hampir seluruh halaman rumah begitu sampai di pemondokan Niha. Halaman rumahnya banyak ditumbuhi pohon melinjo yang tinggi. Ada pohon sawo dan pohon nangka. Dilihat dari bentuk dahan dan rantingnya pohon nangka tersebut sudah berusia lebih tua dari diriku.
“Mau masuk apa enggak ?” Tanya Niha tiba-tiba. Aku tak sadar kapan Niha masuk ke rumahnya.
“Iya, iya...” Jawabku singkat.
“Hmmm....mau ku bikinkan kopi atau teh manis ?” Niha menawarkanku minuman. Kepalanya muncul dari balik kain gorden penutup dapur.
“Jangan repot-repot non. Keluarin aja apa yang ada”. Jawabku ketus.
“Mau nya. Ada semua nih. Ada penggoreng, ada kompor, ada tungku gosong dan uleg-kan sambel nih. Mau yang mana ?”. Niha balik bertanya....
“Aku mau yang cerewet. Ditambah secuil senyuman manis, dibumbui semangkok kasih sayang yang dipanaskan diatas kepercayaan dan kesetiaan....setelah itu diuleg dengan rasa rindu.....ada gak ?”. Aku balik bertanya.
Tak ada jawaban.....
“Ngapain lihat-lihat diary Niha !”. Tiba-tiba Niha telah berdiri dihadapanku sambil merampas buku diary berwarna merah jambu. Wajah Niha memerah. Aku sedikit bingung.
“Maaf non. Diary itu sudah ada sejak tadi diatas meja, terbuka dan aku penasaran sehingga tak sengaja membacanya. Sekali lagi maaf. Tapi jangan marah 100% gitu dong. Jadi kelihatan jutex”.
“Biarin !. Mau jutex kek, jelek kek. Apa kek”. Niha mengomel, cemberut dan manyun. Aku menarik nafas berusaha untuk menenangkan perasaan. Ku lihat Niha duduk sambil menyembunyikan buku diarynya dibawah pantat.
“Siapa cowok yang ada dibuku diary tadi ?. Sedang patah hati nih ceritanya ?”. Aku berusaha untuk memecah kesunyian dengan memberanikan diri bertanya pada Niha. Agak lama baru Niha memberikan jawaban.
“Dia pacarku dulu. Waktu SMA sih, sekarang sudah kuliah di luar kota. Dia pengen kembali lagi. Tapi aku menolaknya. Kemaren dia kirim sms ngajak kita jadian lagi. Tapi aku cuekin isi sms nya. Tapi itu kisahku dulu”. Niha berusaha menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya dengan berdiri dan pergi ke dapur.
“Bentar ya. Aku ambilkan kopinya”. Niha berdiri dan melangkah ke dapur.
“Diarynya gak dibawa sekalian ?”. Aku meledeg.....
“Baca aja kalo mau !” Jawabnya singkat.
Pondokan Niha tidak begitu besar. Sebuah ruangan dengan ukuran dua kali dua meter. Namun cukup bersih dan asri. Kursi tamu juga cuma ada tiga dengan satu meja bundar. Aku suka dengan taplak mejanya yang berwarna biru muda dengan sulaman renda di sekelilingnya. Sebuah jambangan bunga bonsai kamboja berada di sudut ruangan. Aroma bunganya terasa bagaikan kuburan....merinding juga bulu kuduk-ku waktu pertama kali masuk tadi. Tapi sekarng sudah tidak lagi.
“Non, ngapain dibelakang....lama banget”. Teriakku dari ruang tamu.
“Bentar ! Aku lagi masak mie rebus. Tinggal ngasih bumbunya doang. Kamu duduk diam aja di sana”. Terdengar suara Niha sedikit berteriak.
“Bikinin aku juga ya. Hmmmm.....baunya dah samapai sini lho...”. Komentarku singkat.
Tak lama kemudian.
“Mamam yuk !”. Niha keluar dari dapur sambil membawa semangkok kecil mie rebus dan melatakkannya diatas meja bundar. Ukuran diameter mejanya kurang lebih enampuluh sentian. Tidak terlalu besar.
Aku terdiam sejenak....
“Kok Cuma satu ?” Tanyaku penasaran.
“Kalo ada dua bungkus dah ku rebus dua-duanya. Adanya cuma satu, gimana dong...” Niha memberikan alasan sambil terus menikmati mie rebus. Nih anak laper banget pikirku.
“Mau kusuapin ga ?”. Tanya Niha.
“Hmmmm”....
“Buruaaaan...mau gak ?”. Tanya Niha lagi.
Aku langsung sedikit membungkuk sambil membuka mulut lebar-lebar....Aku berharap Niha menyuapkan sesendok mie ke mulutku...tapi belum sempat sendoknya masuk ke mulutku Niha langsung memasukan sendoknya ke dalam mulutnya sendiri....
“Ha ha ha......” Tawa Niha sambil berlari ke dapur.
“Dasaaaaaar.....Awas, nanti ku balas”. Sergahku sambil kembali duduk.
Beberapa menit kemudian.
“Mana ? Katanya ada sesuatu buat Niha hari ini. Aku dah gak sabaran ni”. Tanya Niha setelah duduk manis di kursi tepat dihadapanku. Kami hanya dipisahkan oleh meja bundar yang kecil. Niha kelihatan lebih seksi dengan celana jean hitam ketat yang dikenakannya. Serasi dengan oblong putih yang ada sablon gambar hati dibagian dada. Rambut panjangnya diikat kebelakang. Poninya terurai sebatas alis mata. Lama kupandangi raut wajahnya.
“Jangan lama-lama dong ngelihatku....aku kan jadi Ge-er. Mau ngasih apa nih ?”. Paksa Niha dengan genitnya.
“Sabar sedikit kenapa ? “ Jawabku sambil mengeluarkan sebuah bungkusan kresek warna hitam dan memberikannya pada Niha. Niha tersenyum, bola matanya berbinar.
“Waaaah.....Asyiik.....bisa dengerin musik dan lagu kesukaanku dong...Warnanya pink lagi....”.
“Bilang apa ? Kok diam aja”. Protesku.
“Bilang apa ya ?.....He he....Makasih....makasih banget” Jawab Niha sambil memegang erat MP3 player mungilnya.
“Koleksi lagu-lagunya masih sedikit lho. Nanti kalo aku ada waktu akan ku isikan dengan album lagu kesukaan Niha.
“Tapi...Nggak ada apa-apanya kan nanti ?” Tanya Niha yang membuat ku sedikit bingung. Tapi aku cepat tanggap atas keragu-raguan Niha.
“Suer !. Aku nggak kan minta apa-apa dari Niha. Aku tak akan mengharapkan sesuatupun darimu. Aku hanya belajar untuk memberikan kebahagiaan pada seseorang yang dulu pernah kusakiti hati dan perasaannya. Semua yang ku lakukan aku niatkan buat dia. Kamu gadis yang beruntung, punya wajah dan penampilan yang mirip dengan Alin. Tapi aku sadar. Niha bukan Alin”. Aku mencoba memberikan penjelasan. Dan ku lihat Niha termangu dalam tanda tanya.
“Koq diam ? “. Tanyaku
“Ku pikir alangkah bahagianya kalian dulu. Mbak Alin pasti beruntung bisa memiliki kamu sebagai kekasihnya”.
“Tapi aku terlalu sering membuat dirinya marah. Aku tertalu tolol membiarkannya pergi begitu saja. Aku tahu kalau Alin benar-beanr sayang dan menyintaiku saat kami di SMA dulu. Entah lah!....” Pikirku menerawang...
“Sudah sore nih non. Aku harus kembali ke kampus. Jam lima nanti ada kuliah Sejarah Seni”. Aku bangkit dari kursi dan ingin berpamitan.
“Niha...Bolehkah aku memelukmu ? Walau ku sadar dirimu bukanlah Alin. Tapi aku merasakan dirinya ada pada dirimu. Boleh ?....hanya untuk yang pertama dan terakhirnya”. Ku tatap dua bola mata Niha.
“Untuk yang pertama dan terakhirnya”....jawab Niha lembut.
Ku dekap lembut tubuh Niha...perlahan dan sedikit ragu...
“Maafkan aku Alin”. Bisikku ditelinga Niha”.
“....andai dirimu adalah dia sang pemilik cinta...akankan kau masih menyintaiku...akankah ada rindu yang melaut untuk diriku....Andai dirimu adalah dia sang pemilik kasih...akankah kau masih menyayangiku...akankah ada cinta yang suci untuk diriku....yang pernah menyakitimu ?...
[...bersambung]
Aku, Kau dan Dia
11.52 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar